Bab
6 Cinta merupakan wadah kehidupan untuk saling mengisi
www.diansastro.20m.com
Dalam
penziarahan cinta, ombak lautan yang membawanya pergi pada sang
kekasih adalah deburan sejati yang mengalir dari samudera ketulusan
hati. Langkah kaki yang diayunkannya, bagai degup jantung yang
menghidupi dan memelihara kekasihnya dari nestapa dunia. Sedang
semerbak untaian kata yang ditebarkan keudara bagai senandung abadi,
yang dinyanyikan bidadari surga.
Dapatkah
kemurnian cinta menahan hasrat untuk membahagiakan kekasihnya?,
mungkinkah matahari akan membiarkan bulan untuk bersinar selamanya
tanpa saling melengkapi dan mengisi kekosongan hari?! .
Telah
bermil-mil jauhnya Satria meninggalkan kerajaan Ansaria menuju
kerajaan Tradasia. Selama dalam pengembaraan tersebut, ia menuliskan
kegelisahan hatinya pada daun lontar. Ia susun kepedihannya itu
hingga menjadi gulungan permadani syair nan indah.
“Duhai
Tiara ! walau dalam
pengembaraan spiritual ini kau tak disisiku, namun bayang indahmu
selalu bersemayam dalam relung sanubariku”.
“Dari
tiap helai dedaunan yang kutingalkan, namamu selalu tertinggal dan
mengakar pada paras bumi. Setiap kulantunkan syair kerinduanku
untukmu, maka burung-burung yang mendengarnya seakan malu untuk ikut
bersenandung”
“Duhai
Tiara, dikeremangan malam ini, berpayungkan temaram cahaya bulan,
kulihat sosok bayang indahmu, menyapa halus sudut-sudut tepian
langitku yang senantiasa berbintang”
“Kemudian
kulihat engkau mendendangkan lagu-lagu cinta di puri jiwamu, atau
kulihat dirimu berdiri dtepian senja, lalu dengan sorot mata tajam;
sambil menatap langit pucat kemudian mengubah warnanya- dengan mata
yang memancarkan indahnya pengetahuan”.
“Entah
berapa banyak hari-hari keputusaanku telah sia-sia berlalu, tuk
sekedar mencari bayangan lain selain dirimu.”
“Engkau
dan hanya engkaulah bayangan semu yang akrab diantara kehampaanku,
dari mimpi-mimpi malamku, sering kulihat wujud hidupmu dan
menyaksikan jemari
lentik putihmu menari diatas dawai kecapi”.
“Sepasang
mata itu telah membangkitkan dan membimbing begitu banyak impian
indah dalam diriku, Aku
tak bisa menghitung berapa kali aku putus asa mencari jelmaan lain
dari dirimu”.
“Tiada
keindahan yang dapat mewakilkan , kecuali indahnya sajak-sajak
termanis yang tercipta itu,yang bisa dibandingkan dengan
keindahanmu”
“Engkau
laksana cahaya bintang yang terus menyinariku berabad-abad lamanya,
Takkala bayangan malam telah datang, dirimu
hadir membukakan pintu jiwa- bagi ruhku, sebuah tempat dimana semua
keabadian terdiam membisu dan segala kepalsuan -terkuak warna
aslinya”.
“Wahai
pujaan hati,, dimalam
ini aku masih saja memikirkan dirimu, tak sedikitpun ku mampu tuk
pejamkan mata, tak sedetik pula kau luput dari ingatanku, kuharap
engkau masih dapat tersenyum dan menari
dalam genangan airmataku. Dan semoga saja engkau masih
merindukanku walau sekiranya ku jauh dari sisimu ”
“Tahukah
engkau kekasih tak ada kelopak bunga yang merekah ataupun melayu
tanpa sepengetahuanku, dan kulihat dirimu terbaring dalam selubung
mawar, Kau terbaring dalam luka lama yang belum mengering,tanganmu
tak lagi bergerak, kau beku dan pucat.
Bagiku saat itu adalah malam gelap
tanpa dasar, Jangan pernah menangis lagi “Cinta”-ku.... Tahukah
engkau ...saat aku melihat bintang itu- aku melihat diriku ada dalam
dirimu, dan dukamu juga cerminan dukaku”...
“Duhai
Tiara, telah begulung-gulung daun lontar kutulisi dengan percikan
tinta airmataku, dan telah banyak pula kuas-kuas anyaman hati,
kutarik dan kuikat untuk menulisi perihal pesona
keindahanmu…semua ini kulakukan semata-mata untuk mu permata hati
!”.
“Bila
ku telah selesai menyusunnya, dari tepian langit Kerajaan Tradasia
aku ingin sesegera menghembuskan pertama kali untukmu seorang. Sebab
dibawah langit inilah, aku menemukan kebebasan diri tuk melukiskan
suasana hatiku, dibawah langit
kecerdasannyalah- mereka dapat menghargai karya-karyaku!”
Telah
banyak benang-benang waktu yang terajut dalam kain kesunyian hari,
sudah banyak kepompong sutra yang telah disinggahi, telah banyak
pula kepeng emas dan sanjung puji berhasil ia kumpulkan. Namun
keberhasilannya itu tak membuatnya bahagia, baginya makna bahagia
yang sesungguhnya adalah
ketika ia bisa berjumpa dan menyatukan jiwa dan raganya bersama
kekasih pujaannya..
Ia
tak mengharapkan sanjung puji karena Tiaralah satu-satunya tujan
hidup tempatnya berlabuh, karena Tiaralah yang telah menjadi denyut
nadi dan juga nafas hidupnya.Wahai dunia nan kejam, Tiara kini telah
jauh dari pandangan mata, melihatnya dari balik tirai dan mencium
keharuman rambutnyapun kini menjadi sebuah kemustahilan, apalagi
dapat membelainya?.
Walau
kini banyak emas yang ia genggam, bagai bandul intan dengan tali yng
melilit dilehernya, disetiap keadaan- disetiap waktu , karena
beratnya bandul itu seakan membuat dirinya tenggelam dan terlena
dalam lautan gelap pusara dunia . “Hanya Tiara, hanya Tiara
kebahagiaanku yang sejati!”,
ujarnya lirih.
Sayang
gadis itu telah ditinggalkannya jauh seorang diri. Bagaimana mungkin
sang terkasih dapat tersenyum kembali, bila kekasih tak berada
disisi. Ia bagaikan sekuntum bunga yang layu walau hidup diatas
tanah yang subur. Cahaya matanya yang biasa bersinar kini
menggantunngkan awan kelam dilangit-langitnya. Dapatkah jiwa
memikirkan sejenak, guna membayangkan cahaya matanya, takkala Si
Gadis jelita itu menyandungkan
senandung bait-bait syairnya?.
Bayangan
Tiara seperti ini membuat hati Satria menjadi gundah gulana, walau
secara kasat mata ia tak melihat Tiara, namun gejolak badai yang
bermain dihatinya tak dapat ia sembunyikan sekalipun ia tersenyum.
Dalam benderang cahaya hari, ia tetap saja merasa sunyi walupun
sekiranya berada ditengah keramaian kota,dan membuat jiwanya selalu
saja miskin walau sekiranya emas-permata berkilauan memenuhi tapak
tangannya.
Dalam
keterasingannya tersebut, Satria menempatkan jiwanya dalam sebuah
gua persembunyian. Ia merasa mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan
hati takkala berada dalam kesunyian tersebut dan hanya dengan
kesunyian seperti itulah ia dapat berteriak, tertawa ataupun
menangis menyebut-nyebut nama kekasih, tanpa ada yang melarang
ataupun menghina dirinya.
Ditiap
gemirincik aliran anak sungai dan langkah yang ia lewati, tak
sedikitpun waktu yang
melintas tanpa pujian bagi sang terkasih. Bibirnya tak pernah letih
dalam bersyair, dan tak pernah pula membingkai segala doa dan
harapan yang telah terpahat dalam hati. Seakan telah menjadi obat
penghalau awan kepedihan dan juga kekuatannya dalam menapak
jejak-jejak langkah kerinduan.
Bila
kekasih merindu pada bintang yang bersinar terang dalam hati,
dapatkah kepalsuan cinta menyembunyikan cahaya indahnya dari hati?,
dapatkah bujuk rayu harta dunia membahagiakan bathinnya selain
menambah kepedihan jiwanya ?.
Mungkinkah
hingar bingar pesta pora menghilangkan ingatannya pada sang terkasih
selain menambah kesunyian dan keterasingan hatinya?.
Betapa
anehnya bila dunia bila menganggap kemurnian Cinta, adalah jalan
sesat yang membawa pelakunya
jatuh kedalam lubang yang curam dan gelap. Tidakkah mereka sadari
bahwa cahaya surgalah yang membawa dan menuntun mereka, dalam
rengkuhan kasih Ilahi.
Dunia
boleh memiliki tangan yang kekar untuk memisahkan keduanya, dunia
boleh melingkarkan untaian bukit emas untuk membelenggu tangan dan
kakinya, namun dapatkah dunia melawan kehendak tangan Tuhan, yang
telah menyatukan keduanya- dari keterpisahan ?!.
Bagi
jiwa Satria, hanya cintalah yang ingin ia kecap dan rasakan. Ia tak
malu walau dirinya terlihat kumal dan berantakan karena Cahaya
Cintalah yang ingin ia gapai, dan hanya anggur Cintalah yang ingin
ia reguk.
Ia
telah mabuk dalam pengembaraannya mencari sang terkasih. Dalam
perjalannya itu tak sedikit manusia yang mentertawainya,
menganggapnya gila serta melempari tubuh sang pecinta dengan batu
dan kotoran.
Mereka
tertawa kegirangan ketika melihat sang pecinta menjerit kesakitan,
mereka tersenyum puas manakala darah mengucur dari tubuhnya yang
terbungkus balutan tulang- belulang.
Mereka
menutup hidung dan membuang pandangannya ketika sang pecinta lewat,
namun pada saat yang sama menangisi suara-suara surga yang mengalun
merdu dari bibirnya, serta mendekap bayang-bayang sang pencinta di
kesunyian malamnya..Ketika kesunyian itu lebih dalam lagi, mereka
mengejar sang pecinta hingga keatas bukit lalu merentangkan tangan
kasihnya sebagai seorang sahabat.
Oh
betapa anehnya dunia dan betapa malangnya nasib pecinta ini, ketika
ketersendirian membaluti tangkai harinya dengan kegersangan, maka
keluarlah senandung kelembutan hati nan indah yang mengalun dari
kerongkongannya yang dahaga.
“Duhai
Tiara, aku telah berusaha meraih harta dunia untuk menggapai
cintamu, namun kini telah kusadari bahwa Cinta itu ternyata lebih
mahal harganya dari sekedar harta dunia!”. “Aku telah bahagia
menjadi aku dengan segala aku, aku takkan memaksakan kehendak untuk
menjadi seseorang yang bukan diriku!”.
“Inilah
aku Tiara, ketika manusia mentupi hidungnya ketika berjumpa
denganku, sedang dirimu maukah kau sejenak duduk disampingku sambil
menebarkan keharuman rambutmu untukku?.
“Mampukah
keshalehan dirimu mendoakan suatu kebaikan, bagi diriku yang malang
ini?, dapatkah bibir merahmu mengalunkan syair-syairku sebagai
penguat langkah,penyembuh kalbu?!”…
”Duhai
kekasih, tetaplah bersemayam dalam hatiku, hiasilah hariku ini
dengan senyum indahmu yang menawan. Sentuhlahlah luka yang menganga
ini dengan lentik jemarimu yang halus, lalu basuhlah darahnya dari
kain ketulusan, yang telah kita rajut bersama -dari benang jiwa.”
“Medekatlah
cintaku, janganlah merasa malu bila berada disampingku.Bertandanglah
barang sejenak dihutan-hutan kesunyianku. Reguklah kesegaran mata
air yang mengalir dari
sungai-sungainya. Sapalah kehangatan surya yang bersinar teduh dari
balik rimbun pepohonannya.”
“Di
hutan rimba ini begitu indah kasihku, angin berhembus, daun
bergoyang, burung berkicau riang. Dikesunyian ini tak pernah aku
mendengar suara ratap
tangis, dalam hutan yang rindang ini, tak pernah aku melihat manusia
tergeletak karena lapar.Betapa inginnya aku menceritakan ihwal
keindahan ini kepadamu, dan seandainya saja kita dapat melewatinya
bersama.”
“Wahai
Tiara, aku tahu saat ini engkau hidup bagai merpati yang terpenjara
dalam kurungan emas sanak keluarga yang mengasihimu , namun dapatkah
kau sejenak melihat keterasinganku ini?!, dapatkah dua bola indah
matamu membuka dan melihat kehidupanku yang nestapa?, Mungkinkah
senyum indahmu membasuh kepedihan hatiku. Dapatkah ketulusan cinta
mu membangkitkan jiwaku yang telah lama mati?. Tahukah kau kekasih,
dengan langkah gontai; terlunta-lunta aku menyusuri padang kesunyian
tanpa seulas senyum sedikitpun menyapa diriku. Mereka; orang-orang
beradab ini menjauhiku, menganggapku hilang ingatan , menghardik dan
menista diriku, seolah aku ini sampah yang menjijiikan; hantu yang
menakutkan. ”
“Duhai
kekasih hati, Cinta telah mengikat jiwaku dan menyimpulkannya dengan
benang jiwamu. Dalam rajut ketulusan ini, aku memohon padamu, agar
senantiasa menjaga kain kesucian cinta dari tangan-tangan kotor yang
hendak menjamahnya. Jangan kau biarkan gunting-gunting nafsu dan
kancing kemewahan dunia menggadaikan kain kebersahajaan kita”.
“Duhai
belahan jiwa, biarlah dirimu kukenang sebagai sebuah telaga yang
selalu menghilangkan dahaga jiwaku. Biarlah keteduhan binar matamu
memayungi hari-hariku yang penuh nestapa. Dan biarkan pula hembusan
angin membawa keharuman rambutmu sebagai nafas penopang raga.
Biarlah semua terbingkai dalam hatiku ini, sehingga dari balik
linangan airmata, kudapat menjalani hari-hariku dengan indah dan
penuh warna kebahagiaan.”
‘Wahai
pohon cemara yang bergoyang, engkau adalah sebuah menara yang
menjadi saksi bagaimana cinta telah mematahkan segala harapanku, dan
menyiksaku dengan hujaman ayunan kapak agar dengannya aku tunduk
dibawah kaki aturan adat dan kemuliaan dunia. Walaupun demikian ku
senantiasa tersenyum padanya, dan kuyakin dengan senyumku ini,
putik-putik hatinya dapat merasakan kebahagiaan walau dirinya berada
jauh dari sisiku. Dan aku akan selalu mengenang keberadaan cintanya,
seolah ia sendiri berdiri dihadapanku, menyapa dan tersenyum padaku
walaupun sekiranya ia jauh.”
“Wahai
Penguasa kalbu, dari dekapan erat jemari kasih sayang keluarganya.,
biarkanlah api cinta selamanya berpijar serta memancarkan cahya
kasih dalam lilitan sumbu lentera hatinya. Payungilah sang pecinta
dari panasnya dunia, siramilah bunga-bunga cinta yang telah tertanam
dalam jiwanya agar selamanya bersemi, mengharumi hari serta
menghiasi kehidupan lelaki lemah
ini dengan keindahannya.Teguhkanlah hatinya,Ya Rabb supaya
sang pecinta dapat menjaga kebun-kebun cintanya yang telah
tersemai.”
“Ya
Allah, Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
anugerahkanlah Tiara padaku serta dekatkanlah hati dan jiwanya
untukku. Engkaulah Ya Rabb, Yang Berkuasa penuh atas segala catatan
takdir makhluk-makhlukMu
dari awal hingga akhir kehidupan. Semaikanlah putik-putik
kebahagiaan kedalam taman hatinya, kuatkan dan tentramkanlah hati
sang pecinta dari kegelisahan dimalam tak berbatas dan bertepi ini.
Anugerahkanlah kesejukan dan ketenangan bathin dimalam ini
kepadanya, yaitu dia yang terus merentangkan jubah kasihnya;
serta mengingat cintanya saat orang lain terlelap tidur. Dan dia
yang bagaikan bunga matahari, menundukkan tangkainya -sujud mencium
bumi, dan berdoa,bermunajat pada-Mu
untuk kebaikan serta kebahagiaan hidupku.”
“Tuhan,
dalam letihku ini…aku menghaturkan doa padaMu, disaat tubuhku
melemah dan pendanganku
menjadi kabur, aku memohon dengan kekuatanMu, ringankanlah langkah
kaki sang Mutiara hati, untuk menemui diriku yang lemah dan tak
berdaya ini. Wahai Penggenggam hidup, apalagi yang mesti kuperbuat,
bebaskanlah aku dari lilitan derita.
Sandingkanlah jiwaku dengannya dengan kekuatanMu. Lalu
hidupkanlah jiwaku yang mati dengan cahya kasihMu, hindari serta
selamatkanlah aku dari perangkap kematian, yang sengaja dicipta dan
dipasang untuk melukai diriku. Kini selagi ia berusaha mendekati
pijar jiwaku, maka pulihkanlah tenaga dan kekuatanku agar ku dapat
pula melangkah menemui pujaan hatiku.”
Mendengar
senandung yang begitu indah, alampun menekukkan tubuhnya dalam
keharuan. Sesaat burung-burung berhenti berkicau. Matahari yang
biasanya tersenyum dibalik awan, kini telah menyembunyikan muram
wajahnya dalam kelambu awan kelabu. Langit nan cerah mendadak
bermuram durja, hingga menitikkan airmata duka.
Hanya
kesejukan udara yang mungkin
masih setia memberi keharuman mawar dalam rongga dadanya yang sesak.
Dalam hembusan tulusnya, sang angin seakan ingin mengingatkan diri
agar dirinya selalu tersenyum, dari indah putik indahnya –seakan
hendak mengingatkan sang pecinta agar selalu ceria dan melupakan
sejenak segala resah hatinya.
Hartono
Beny Hidayat
2001
- 2004
Home
|