Bab
5
Pergi sementara dan untuk
kembali
www.diansastro.20m.com
Persahabatan
adalah harta yang ternilai , pada saat tubuh terhempas badai, saat
hidup dan mati menjadi lembaran-lembaran kehidupan yang abadi, mata
setajam elangpun dapat saja menjadi kabur- lengan yang kokoh
mendadak menjadi tak lemah berdaya dalam situasi seperti ini ,
seseorang akan merindukan hadirnya sahabat yang dapat menjinakkan
ketersendirian, menghilangkan ketakutan dan kesedihan yang melanda
hati.
Karena
rindu yang tak tertahan , tubuh Satria menjadi tangkai yang mngering
dan ia mulai mengembara menjelajahi bebukitan dengan berjalan kaki,
menangis dalam debu, tertawa dan berbicara disetiap sudut jalan
memanggil-manggil nama sang terkasih. Bagaikan sebuah dedaunan yang
terlepas dari tangkainya, dirinya kini terombang-ambingkan oleh
pikiran dan perasaannya yang kacau, tiada waktu bergulir serta angan
yang terlintas dalam benaknya, selain bersyair menyebut-nyebut nama
sang terkasih.
Duhai
Tiara...
Engkau
adalah keharuman nafas surgawi , yang membuatku tak lagi mampu
untuk memejamkan mata...
Sihirmu
begitu mempesona , membuat hati yang gersang ini menciptakan
kedalaman samudera yang nyaris sama dengan kedalaman jiwa...
Hanya
untukmu seorang , seluruh kerinduanku , impianku , angan dan
harapanku berlabuh , karena hanya engkaulah segala keinginan
bermuara...
“
Wahai Tiara, ditepian air berkilau cahya purnama ini …masihkah kau
teringat akan diriku?!”…
“Ketika
kau melemparkan sebuah batu ketengah-tengah sana, lemparan ku
berjarak empat tombak - lebih jauh
dari lemparanmu!”…
“Dimalam
ini aku kesepian Tiara”…”Ketahuilah bahwasanya bayang indahmu
tak sedikitpun luput dari pikiranku, selamanya ia bersemayam abadi
dikedalaman jiwa!”
“Engkau
laksana cahaya bintang yang melintasi malam sepiku, dan parasmu
bagaikan setangkai mawar yang
menyambut dan menyejukkan kesegaran pagi,”
“Tanpa
kehadiranmu mungkin saja kelopak bunga enggan merekah, mentari
enggan bersinar - begitu juga kupu enggan tersenyum ; karena
engkaulah nafas keharuman ; mata air kehidupan.....
“Saat
dirimu hadir dikedalaman sanubari....aku tak tahu , kenapa diriku
tak dapat melepaskan bayangmu dari jiwaku”....
“Engkaulah
satu-satunya bayangan semu juga nyata yang bersemayam dijiwaku
dengan segala keajaibannya...Engkaulah keindahan yang membuatku -tak
lagi mampu memejamkan mata” ....
“Disaat
kuteriakkan namamu dari balik bebukitan, apalah daya hanyalah gema
yang kembali”,…
“
Duhai Tiara, Takkala kutatap kedua matamu, seakan ia hendak
berbicara....Kesedihan tak dapat kau sembunyikan , sekalipun engkau
tersenyum,........
“Dan
aku memahaminya.....Mengapa harus meredup kasihku ?!”....
‘Kembalilah
bercahaya.....bila cinta ini yang akan menyembuhkanmu...aku akan
membawanya kembali”.
“Ketahuilah,
aku membawa cinta ini pergi untuk kukembalikan lagi padamu,
jika engkau siap menerimanya kembali”.
“Percayalah
bahwasanya kepergianku adalah sebuah pengembaraan didalam hatimu,
sebuah pengembaraan dalam pengabdian cinta,”…
“Duhai
Tiara diatas prasasti ini, dahulu kita pernah duduk bersama,
memandang kerlip ribuan bintang… Masihkah kau ingat Tiara..tepat
diatas sana !, sebuah tepian
sudut langit berwarna keemasan yang pernah kau tunjukkan
padaku,….. atau takkala kau sadarkan diriku tentang merdunya suara
burung sebelum mereka beranjak dari sarangnya?!”
“Dari
semua kenangan yang tercipta itu, dengannya aku berjanji takkan
pernah lelah menyayangimu, walau cinta ini tak pernah teraih,
namun tak apalah asal engkau tetap singgah dan tersenyum dalam
hatiku!”
“Karena,
engkaulah Dewi yang
membawa hari-hariku menjadi indah dan penuh warna.
Engkau
dan hanya engkaulah yang mengisi kesunyian malamku dengan dendang
bintang dan bulan, Engkau jualah si pembawa kunci, bagi pintu
kebahagiaan jiwaku, Dan Engkau jua-lah mata air kehidupan bagi
dahaga jiwa”.
“Dalam
ketulusan hati , jiwa ini tunduk pada kepasrahan hatimu, meski
mereka berkata , suatu saat cinta ini akan meluruh dan sirna, namun
engkau tetap abadi selamanya dihatiku !”
Dia
, sipujangga cinta terus menyebut nama "Tiara" yang telah
mengunci mata hatinya namun jeritannya hanya bergema dan memantul
ditiap bukit-bukit kesedihan. Bulir-bulir airmatanya yang menetes
dari pipinya mengering begitu saja bagaikan setitik embun yang
menguap oleh pancaran terik keperihan hati.
Dalam
lautan gema seperti itu tak seorangpun memahami dan mendengar rintih
hatinya, begitu juga dengan Tiara tebalnya dinding istana beserta
barisan tentara yang menjaganya membuat dirinya lengah, dan tak
begitu memperhatikan kehidupan Satria yang begitu nelangsa, baik
karena cintanya yang terbelenggu; juga terhadap ketersendiriannya
yang mencekam.
Dalam
kondisi yang memprihatinkan seperti itu, beberapa teman Satria telah
beberapa kali berupaya untuk membujuk dan mengingatkan Satria, agar
dirinya jangan sampai membelenggu kehidupannya yang bebas, dengan
memenuhi isi otak dengan perangkap-perangkap cinta yang melenakan
serta manyadarkan diri satria yang sedang dimabuk cinta, agar
menghidupi ketersendiriannya dengan keriaan pesta-pesta.
Mereka
berpesan kepadanya, “Wahai sahabat, lupakanlah segala khayal
gilamu, Tiara merupakan seorang putri raja -seorang pewaris tahta
kerajaan, tidaklah mungkin punguk merindukan bulan, mustahil bagi
tangan menyentuh langit !…untuk apa engkau mencintai setangkai
mawar, sedang engkau tidak memiliki harapan untuk bersanding
dengannya ?!” …“Untuk apa engkau lari dari kenyataan hidup
lalu memperbudak dirimu dalam ikatan cinta yang semu serta
mengaburkan matamu dari sesuatu yang nyata ?”….
“Adalah
sebuah ungkapan yang menyesatkan, bila ada yang mengatakan cinta
sejati itu ada, dan hujaman panah cinta keabadian hadir dari
pandangan pertama !… Kami rasa dirimu sedang mengalami keletihan,
maka dari itu bertindak segila ini !”…”Wahai Satria, Peri
cinta dari dunia manakah yang akan mengubah seekor katak menjadi
seorang pangeran?!”…..”Dapatkah sang katak terbang melompati
keangkuhan tinggi jendela istana?!….aku rasa sebelum katak itu
melompat, mendekatinyapun ia akan segera mati oleh ketajaman pedang
dan anak panah yang berjaga disekelilingnya!”
”Segeralah
kembali kedunia asalmu, sebuah tempat dimana Tuhan telah
menganugerahkan segala kebaikan bagi segala ciptaan-Nya, biarkanlah
kehendak Tuhan berlaku untukmu dan janganlah engkau permainkan
segala hasrat dan harapan indahmu dengan berbagai
pandangan-pandangan kosong yang menipu kehendak hati.”
“Marilah
kita bersama merentangkan sayap-sayap masa muda, tuk terbang
menyusuri taman-taman hati guna memetik sekuntum bunga yang mudah
dijangkau oleh tangan-tangan kecil kita, dan janganlah engkau
mengunci dirimu dalam ruang yang sempit, serta menengelamkan dirimu
dalam syair-syair kerinduan, tanpa seseorangpun yang menjawab segala
kerinduanmu dan juga obat penawar bagi penyakit cintamu!.”
“Mengapa
kau bertutur seperti itu wahai sahabat ?” tutur Satria,
…”Tidakkah kau ketahui bila Cinta itu sesuatu yang universal,
bahwasanya keagungan Cinta
tidak mengenal batas ruang dan waktu?…Cinta bukan hanya
untuk sepasang kekasih, Cinta itu begitu banyak penjabarannya, dan
apabila aku belum memiliki kekasih dalam artian wujud, bukan berarti
aku berlidung dan membohongi diri dalam kesejatian cinta ,
ketahuilah itu wahai sahabat!”
“
Saat kegelapan tiba , melalui lentera kemurahan-Nya,
aku
membaca catatan hidupku yang penuh dengan duka dan cita,
Didalam
gelap hati , dengannya aku bisa melihat sudut tepian yang senantiasa
tersembunyi atau bahkan sengaja disembunyikan-Nya.
Disaat
cahaya ini meredup, ataupun lenyap untuk selamanya,
Maka
Jiwaku tak ikut mati
bersamanya,
Dan
atas nama keagungan cinta,
Allah
menciptakan Hawa bagi Adam untuk menenteramkan gundah
hatinya.
Kalau
saja Allah berkehendak untuk meniadakan cinta ,
pastilah
Dia akan menciptakan satu jenis makhluk,
Dalam
keagungan Cinta Allah memelihara
ciptaannya,
dan
dengan cinta pulalah,
manusia
mengagumi dan mengenal Penciptanya !”
Mendengar
syair-syair tersebut si-sahabat menjadi malu, ia menarik kembali
semua ucapannya, tidaklah mereka ingin menambah kepahitan sebuah
buluh, yang telah terkerat melodi kepedihan hati. Dan tentulah si
sahabatnya tak bermaksud menyindir ataupun menyakiti hati sang
pemuda ,maka dari itu –si pemuda segera merangkul dan memaafkan
kesalahan sahabatnya itu
Walau
duri nan tajam pernah menusuk kelembutan daging, namun apalah luka
yang tergores pun kelak akan kering dengan sendirinya, tak mengapa
ada sedikit kepedihan, toh sang sahabat hanya sekedar mengingatkan.
Sejak peristiwa itu persahabatan mereka menjadi kuat, dan mereka
telah berjanji untuk saling menjaga layaknya saudara yang memiliki
pertalian darah.
Adakalanya
persahabatan menjadi sebuah permusuhan, Suatu saat cakar-cakar yang
tajam, lebih dibutuhkan untuk menggali bebatuan- daripada kuku-kuku
yang tumpul lagi halus, maka dari itu janganlah menghindari
musuh-musuhmu perihal kejeliannya
akan kelemahanmu; melainkan belajarlah kelemahanmu yang
terpatri pada mata dan benak mereka.
***
Kerinduan
pada sang terkasih telah menginspirasi Satria untuk bersyair,
kelabilan emosi telah membuat kreatifitasnya meningkat. Seolah tidak
menghiraukan berbagai cemoohan yang terlontar padanya, ia tetap saja
bersenandung menyebut-nyebut
nama sang terkasih.
Dimana
saja Satria berada, maka
yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah Tiara dan Tiara,
anak dari Baginda Raja.
Duhai
Tiara ,
Memikirkan
dirimu membuatku selalu terjaga dari tidur,
Aku
berteman sepi , jiwaku mengembara susuri bukit dan belantara
kesunyian,
Merindumu
membuat jiwaku terbakar,
Laksana
sebatang lilin, meleleh
pula segala harapanku,
oleh
api keterpisahan.
Tahukah
kau Tiara,
Orang-orang
mencelaku karena menganggap cinta ini sebuah hasrat nafsu,
Keluarga
dan kerabat menasehatiku untuk meninggalkan dirimu,
Mereka
tak tahu bahwa beban derita yang kutanggung adalah atas kehendak
dari-Nya,
Duhai
Tiara !,
Dalam
genangan airmata , ku selami palung jiwamu
Dalam
balut keputusasaan , aku
memasrahkan diri,
Dalam
himpitan derita, ku
tersenyum padamu,
Dalam
cercaan dan hinaan mereka, aku menahan diri.
****
Pikiran
yang kalut terkadang membuat sipenderita menjadi mudah tersinggung,
dalam kelabilan seperti ini terkadang peran orangtua serta
keberadaannya, sangatlah dibutuhkan
bagi si anak. Namun terkadang orangtua terlalu menganggap
sepele permasalahan anak muda, mereka mengabaikan permasalahan
anaknya seolah kegilaanya akan berakhir seirng dengan perjalanan
waktu
Tidak
saja dialami oleh Satria dan kelabilan emosi ini terjadi juga pada
Tiara, tak seperti biasa wajah yang biasanya cerah -belakangan hari
menjadi muram laksana langit yang tertutup awan kelabu. Kelakuan
ganjil tersebut membuat bingung dan gundah sanak keluarga Tiara.
.
Begitulah,
tak seorangpun tabib penyembuh didunia
yang mampu mengobati penyakit yang ditimbulkan akibat cinta,
selain kehadiran sipemberi penyakit.
Saat
malam menjelang ketika banyak jiwa tertidur dalam peraduan maka
keindahan jemari impian
yang berapi selalu membuat jiwa sang Putri terjaga; dari balik kilau
bintang-gemintang; ia selalu merindu pantulan cinta kasih dari mata
sang tercinta .
“Duhai,
penyakit apa kini yang telah dideritanya!” ; “ berbagai ramuan
telah diminumnya, berbagai tabib ahli telah diundang untuk mengobati
penyakitnya tapi penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh malah
semakin menjadi !”….begitu tutur bibi Amelia, pengasuh Tiara
sejak dirinya dilahirkan
Dalam
kebingungan seperti itu; bibi Amelia, Sang pengasuh membujuk Tiara
untuk dapat berbagi penderitaan sebagaimana ia telah berbagi
kesenangan padanya.
Disebuah
ruangan megah, disuatu tempat pembaringan berhiaskan warna-warni
bunga, tampak seorang dara duduk terpekur disudut ruang kebisuan,
matanya menerawang jauh...terlihat tetes demi tetes bulir airmata
jatuh membasahi pipinya yang halus. Tak terdengar sepatah katapun
terucap dari lidahnya , hanya desis kesedihan serta keputus-asaan
sajalah yang bergema dari bibir kesunyian itu. Dari belakang
punggung sigadis seuntai tangan halus menyapa pundaknya, dalam
kegundahan hati kemudian ia berkata...
"
Duhai anakku tercinta....duri apakah gerangan yang membuat permata
hatiku yang selalu bersinar penuh ceria, selintas berubah
laksana awan mendung -yang menutupi indahnya mentari
?!'...'Katakanlah wahai putri jiwaku, siapakah wujud yang tega
membuat belahan hatiku ini, berderaikan rintik airmata kesedihan
?!".....
“Apabila
ada sebuah duri yang menancap dikulitmu, maka dengan
kebijaksanaanku, aku akan menariknya keluar “. “Apabila ada
sebuah taman jiwa dan setangkai bunga yang memikat hatimu,
kuingin engkau menjadi pemelihara dan pemilik darinya, bukan
sebagai budaknya!”
"Duhai
bibi...aku tak tahu apa yang kini kurasakan....aku telah jatuh hati
, namun ku tak berdaya karena yang aku kasihi hanyalah sebuah
bayangan, sebuah bayangan yang semu namun nyata adanya, Dia-lah
bayangan yang telah membuat sinar mataku kembali memancarkan
sinar harapan yang sekian lama telah meredup,"
"
Sebuah bayangan yang jauh dari pandangan mata namun dekat
dihatiku.....aku sendiri masih bingung didalam memaknai semua ini ,
seandainya saja aku ceritakan semuanya padamu, mungkin engkau akan
mentertawakan dan menganggap diriku berprilaku ganjil, karena
kesemuanya ini berangkat dan berawal -dari
ketulusan yang gila dan kegilaan yang tulus!!"....
Sambil
tersenyum dan membelai rambutnya dengan jari-jari kebijaksanaan ,
wanita tua itu berkata dengan lembutnya, "Ceritakanlah buah
hatiku, aku akan mendengarnya sekalipun itu cerita paling aneh dan
paling ganjil sekalipun!"
"Pada
suatu redup senja, jiwaku bertemu dengannya disuatu persimpangan
jalan yang aneh, sebuah jalan ghaib yang tak sengaja menuntun
dan mempertemukan langkah kami......jiwaku dan jiwanya saling
berbagi cerita dan bertegur sapa, entahlah bibi, saat itu aku
merasa ia adalah teman langitku, aku merasakan
seolah-olah sisi ruang dari diriku ada didirinya!"....
"Namun
entahlah ...dari suatu lamunan ke lamunan lainya , jiwaku seakan
menerawang jauh, dan dari lamunan itu sesekali waktu -dengan
tiba-tiba saja aku mengharap , suatu saat bayangan itu memang ada
wujudnya, dan memang nyata adanya....tetapi kemana aku dan dia, bisa
mencari wujud dari masing-masing diri ?!..."sedang hasrat jiwa
hanya bisa mengharap pasrah, kepada keajaiban - keajaiban yang
membawa kami dalam suatu pertemuan yang nyata !" .....
'Mungkin
saat itu aku tak pernah menganggapnya dirinya ada , karena hal
ini memang berangkat dari sebuah jalinan semu, ia
tetaplah bagaikan sebuah bayangan, sisi lain dari jiwaku berkata :
"aku harus menggunakan akal sehatku, aku tak boleh terbuai,
ya...tak boleh! ".... sesaat ia menghela nafas panjang,
kemudian melanjutkan ceritanya kembali....
"Waktu
telah lama berlalu , kucoba melupakan dan mengakhiri kisah-kisah
semu itu, lalu mencoba merajut kehidupan yang lebih nyata....dan
ternyata sang nasib berkendak lain , serasa tak ingin mengakhiri
segala kisah yang ada, takdir mempertemukan kami...ajaib memang
!....Alam seakan-akan memiliki ceritanya sendiri !...seandainya aku
mengetahui keberadaannya disana !....mungkin saat itu aku akan
tersenyum padanya, kan kuberikan padanya seutas senyum- yang takkan
pernah bisa terlupakan sepanjang hidupnya!"..."Yah,
seandainya saja....dan seandainya saja aku bisa membalikkan waktu
!"
"Duhai
bibiku tercinta, di saat hari-hari dan musim berhiaskan langit
kesedihan serta merintikan hujan airmata duka, ........"
"Entah
bagaimana, Tiba-tiba saja jiwaku menangis
untuknya,....dipersimpangan jalan itu aku kembali teringat
padanya, -aku telah meninggalkannya seorang diri !"...
"Disaat
hewan-hewan kembali kesarang disaat badai melanda , aku
meninggalkannya seorang diri dipadang kesedihan itu....Oh,
Sang Pemurah dan Pengasih-betapa kejamnya aku !...."Dalam
keremangan malam yang dingin ini, apakah ia masih
bernyawa?....dikeramahan- sudut tepian langit manakah ia
berteduh?....dimangkuk ajaib manakah ia mengenyangkan kesedihannya
?!".
Dengan
jemari lentiknya sang dara menyapu bulir-bulir airmata kesedihan
,sambil menahan isak tangis yang dalam ,ia berhenti sejenak .Tampak
dua mata indahnya berkaca-kaca seakan menembus batas
dinding-dinding kerinduan.....sesekali ia menutup wajah cantiknya,
kemudian dengan terbata-bata dan dengan sisa-sisa kelembutan hatinya
- ia mecurahkan perasaannya kembali .....
"
Duhai keego-an diri, apakah ia masih memikirkan diriku
?...apakah ia masih mengharapkanku , apakah ia masih menungguku
dipersimpangan jalan itu, tahukah ia bahwa aku tak pernah berniat
meninggalkannya ?...apakah ia sudi menerimaku kembali sebagai
sahabat bagi jiwanya?!"..."Kenapa aku seakan diam saja
wahai kesunyian malam , kenapa jiwa ini seolah-olah tidak
memperdulikan keberadaannya, walau sebenarnya aku
peduli?!"...."Apakah sang sahabat mengetahui
ketulusan hatiku ini ?...Masihkah ada rasa sayang itu ataukah
kebencian yang ada dibenaknya kini ?!......."Duhai badai jiwa
yang kini berkecamuk....aku tak berani membayangkannya !"....
Dalam
kegundahan jiwa, sang dara memeluk bahu bibi tercinta
-lalu menangis sejadinya,....... laksana anak sungai yang
mengalirkan air kehidupan, tampak tetesan bulir airmata kasih
-mengalir deras dari kelopak-kelopak jiwanya.
Sambil
membelai rambut indahnya bak mayang terurai., sang bibi
membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan bathinnya , laksana
ibunda bumi yang sedang mendongengkan kebijaksanaan kepada bunga dan
rerumputan, ia berkata :
"Duhai
permata hatiku !...lihatlah koin emas ini, walau ia merupakan satu
kesatuan- ia tetaplah dua sisi yang berbeda !"
"Begitulah
jalan hidup , tak ada yang sama....takdir memang mengharuskan kita
memainkan peranan yang kita harus mainkan...dan begitulah memang
jalan hidup yang meski dijalaninya !"
"Janganlah
bersedih untuknya, tersenyumlah !...bukankah kebahagianmu ,
kebahagiannnya juga ?!"..."Berdoalah untuknya, sebagaimana
ia mendoakan kebaikan padamu !"...
"Berilah
doa- doa yang akan menguatkan keteguhan hatinya!"..."Itu
lebih baik daripada engkau bermuram durja !"..."Janganlah
menambah kesedihan untuknya !"...
"Bila
kau rindu padanya serukanlah kerinduanmu kepada burung-burung yang
melintas diangkasa, dan apabila ia mendengarnya, maka ia akan
rentangkan sayapnya lalu menjemput jiwamu yang bersedih diruang
kehampaanmu ini, bukankah ia pernah berkata seperti itu padamu
?!"
"Duhai
buah hatiku, Yakinlah bahwa
kekasih sejati adalah ketika kamu menitikkan air mata, maka dengan
kebesaran cintanya ia tetap peduli terhadapmu.Sebuah kekuatan abadi
yang ketika kamu tidak mempedulikannya dan dia masih
menunggumu dengan setia.. Ketulusan sejati adalah Saat Sang kekasih
mulai mencintai orang lain dan dia masih bisa tersenyum sembari
berkata 'Aku turut berbahagia untukmu‘…
”Duhai
mawar asuhanku tercinta,
Mulai detik ini, luruhkanlah segala kedukaan yang
merisaukanmu......tepiskanlah segala gundah. Bernyanyilah untuknya
agar ia tabah dan kuat menapak dijalannya!"..."Tulislah
dan tuangkanlah segala rasa hatimu, walau ia tak pernah sekalipun
membaca senandung jiwa ini, kuyakin mata hatinya dapat
memahaminya!" . Sang
dara tampak tersenyum lega...ia mengecup pipi lalu memeluk bahu sang
bibi dengan sejuta rasa kasih, seandainya bulan dan bintang
melihat ketulusan itu , pastilah mereka akan dibuat iri olehnya, iri
atas ketulusan cinta kasihnya !
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun.
Ketatnya pengawalan istana membuat kedua pecinta tak dapat lagi
bertemu, walaupun hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal
demikian membuat jiwa Satria sedemikian putus asa. Karena tertekan
dalam keputus asanya ia memberanikan diri untuk berkeluh kesah
terhadap sahabatnya !
“Duhai
sahabat , ternyata ada benarnya perkataan yang kau ucapkan dulu
!….Kini Tiara tak dapat lagi kutemui, Sang Raja mengancamku untuk
tidak menemui anaknya, Tiara telah terkurung rapat dalam sangkar
emasnya.” “Kini tidaklah mungkin tanganku yang kecil ini
menjangkau langit , menjangkau dirinya yang dengan sebuah ketulusan
hati yang dengannya aku mencinta! ….dalam ketidak-berdayaanku ini,
aku bersumpah dalam selubung kehormatanku untuk tidak menyerah
didalam meraih cintanya !”
Malang
benar nasib Satria, ia memahami dirinya sebagai anak yatim tak
mungkin pantas bersanding dengan Putri Raja, maka dari itu ia
berpamitan kepada sahabat-sahabatnya untuk pergi meninggalkan tanah
kelahirannya untuk berniaga kenegeri seberang. Cita-citanya hanya
satu : mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya yang kelak digunakan
untuk melamar Tiara, sekaligus mencari keberadaan Ayahandanya yang
telah bertahun-tahun tidak ada khabar beritanya.
Dan
ia melihat disana; tiada lagi yang dapat diharapkan dari lingkungan
dan kerabatnya, harapannya pelahan telah kandas. Ia menjadi orang
asing ditengah-tengah komunitas
manapun.
Pikirannya
menjadi kalut , kini ia merasa negeri kelahirannya yang penuh
keramahan telah menjadi
negeri yang bengis , kasar dan penuh kecurigaan, dimana ia tak tahan
lagi berlama-lama untuk tinggal dan bertahan didalam naungan langit
nan hitam tersebut. Maka dengan perasaan berat
ia meneguhkan hati untuk meninggalkan Kerajaan Ansaria.
****
Pada
suatu kesempatan , Satria mengutarakan niatnya untuk hijrah kepada
tetua suku, setelah mendapat ijin tersebut
ia mengemasi barang-barang dan menyiapkan kudanya. Setelah
berkemas-kemas Satria menyalami para handai taulan dan sahabat,
salah satu sahabatnya yang bernama Saladin tiba-tiba muncul
dihadapannya.
Satria
berpesan padanya untuk mengabari kepergian dirinya pada Sang Putri.
apabila suatu saat nanti, ada suatu kesempatan untuk berjumpa
Sang Putri diseputar alun-alun Istana.
“Satria
aku ingin mengucapkan suatu rahasia untukmu!”, bisik Saladin.
Almarhumah ibuku berpesan padaku, apabila tiba masanya,
aku harus menyampaikan sebuah rahasia padamu. “Apa rahasia
itu Saladin?!”,tutur Satria berharap-harap cemas.
“Ayahmu
bukan menghilang, namun sejak kepergian ibundamu, ia tak mengakui
dirimu sebagai anaknya!”.
Betapa
hancur hati Satria mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut
Saladin, namun ia berusaha tegar menghadapi itu semua. Kekecewaan
tampak jelas tergambar diwajahnya yang selalu tergores oleh
kepedihan. Dari mimik
wajahnya tergambar jelas kedukaan yang dalam, menandakan
kemarahannya yang hebat, lebih hebat dari amukan topan ataupun
letusan gunung berapi. Namun dihadapan suku besarnya, Satria
berusaha meredam semua badai yang bergolak didalam hati. Sambil
membungkukkan badan, ia naik keatas kuda dan melambaikan tangan
perpisahan kepada handai taulan.
Satria
menarik tali kekang kudanya, ringkikan getir nafas sang penunggang
menyatu dengan tunggangannya. Perlahan kaki kudanya melangkah
menjauh meninggalkan tanah kelahiran yang amat dicintainya,
perlahan-lahan kuda yang ditungganginya menghilang meninggalkan debu
dan jejak persahabatan yang selamanya terpatri didalam kalbu
masyarakat suku besarnya.
Kepergian
Satria membuat sebagian kelompok masyarakat menjadi sedih karena
telah kehilangan sosok penyair yang mereka idolakan, sebagian lagi
menyambut dengan lega akan kepergiannya , karena bisa terhindar dari
kemungkinan murka sang Raja akibat ulah gilanya terhadap Tiara.
Kini
keterpisahan telah mendera kedua pecinta , perasaan keduanya menjadi
hampa sejak sang terkasih tak tinggal lagi disisi, derai bulir-bulir
airmata kesedihan
menyelimuti hari-hari mereka laksana sebuah bahtera yang tengah
berlayar, serta terombang-ambing ombak pada lautan lepas,
dan si nahkoda telah hilang entah kemana.
Duhai
Tiara setiap saat slalu kulantunkan syair kerinduanku untukmu ,
Kususuri jalan berduri ini sambil menapak-tilas jejak langkahmu,
Tanpa
lelah kuberjuang tuk berjumpa denganmu, merambah badai dan petaka,
menyambung malam dengan siang tanpa teduh menaungiku
Duhai
Tiara Saat
kukenang dirimu , jiwaku terguncang, anganku melayang, akal sehatku
hilang.
Dihari
ini disaat kutatap wajahmu dibalik remang cahaya purnama, jiwaku
bernyanyi, hatiku menjadi teduh , kedukaanku mendadak lenyap,
meski tak tahu apa yang kan
terjadi setelah ini.
Duhai
cinta , seandainya saja aku mempunyai dua hati satu
kan kuberikan tuk hidupku, satunya kan kubiar tersiksa dalam
cintamu.
Duhai
keindahan yang menawan hati,
kembalikanlah cinta yang
ada padamu kepadaku, jika tidak tinggalkanlah aku !
Jangan
biarkan tubuhku menjadi sasaran anak panah mereka-mereka yang
menghinaku.
Jika
saja kata-kata dapat melukai tubuh, tentu tubuhku telah penuh luka
karena ucapan mereka.
Duhai
bumi tempat keindahan sejati menghampar,
Disaat ku berjalan dalam
genggaman tangannya,Kurasakan jiwaku dan jiwanya tertawan dan
tergadai dalam genggaman kuku-kuku hitam.
Seakan
dunia menjadi tempat asing- dimanapun kami berpijak ,
dimanapun kami tinggal.
Hanya dikeabadian
tempat kami bertemu “.
Satria
terus memacu kudanya, sesampainya dialun-alun istana, ia
menghentikan dan merapatkan kudanya disebuah taman. Dengan penuh
kehati-hatian ia memasuki taman istana tersebut , sebuah tempat
dimana ia dulu sering berpadu janji dengan Tiara, tampaknya Satria
meletakkan sepucuk surat, disebuah pot bunga kesayangan dari Sang
Putri. “Semoga suatu saat ia membaca pesan ini !” ujar Satria
dalam hati.
Setelah
meletakkan sepucuk surat, secara pelahan ia kembali menjalankan
kudanya. Sambil matanya memandang jauh menuju jendela istana,
kembali ia bersyair :
Duhai
kekasih hati,
Kenyataan
hidup mengharuskanku untuk pergi, membawa
beban dunia ketika letih memanggil- aku bisa menyandar,
membawa
sebuah beban bathin, ketika letih memanggil- kemana aku mesti
menyadar?
Duhai
kekasih,
Janganlah
pernah risau akan kepergianku, karena kepergianku adalah
sebuah pengembaraan didalam hatimu,...
Sebuah
pengembaraan dalam pengabdian cinta
Tidak
bisa dipungkiri bila ku jatuh hati padamu, namun
ketahuilah, ketakutan-ketakutanku itu tidak seluruhnya hilang,
Lebih
baik aku memendam derita kasih ini dan menelannya dalam bahagia ,
Daripada mengungkapkannya dalam ketidakberdayaan jiwa,
Aku
menyadari aku bukanlah yang terbaik, namun ku akan mencoba
memberikan yang terbaik...dengan berat hati, aku telah jujur pada
diri , untuk berani
jatuh cinta,
Namun
sadarilah duhai Tiara, aku ini bukanlah siapa-siapa, bila kau
percaya akan cinta dan hidupku, percaya juga
tentang kisah si lumut, maka
datanglah padaku
Bagaimana
engkau akan memasuki sebuah bahtera , bila tidak mengenal
seutuhnya dari sang nahkoda ?!....
Namun
bila kau telah mendapatkan yang terbaik dan kau bahagia, maka
bahagiamu juga bahagiaku....
Percayalah
dan aku berjanji tak ada lagi airmata, tak ada lagi penantian.....
Karena
sang bahtera telah memahami bahwa jiwa itu , bukanlah tempatnya
untuk berlabuh....
Dan
bagimu Satria,
Berhentilah
tertawa dalam airmatamu !, Masih
banyak hal lain yang meski diperbaiki,
Memilikinya
bagaikan mimpi disiang hari, bagaikan tangan ingin menjangkau
langit !
Oh,
betapa mabuknya sipemuda ini !...Sudah berapa gelas anggur cinta
yang tlah direguknya?!.
Dalam
kehidupan ini,Tak ada yang bisa menduga arahnya cinta,
dan bagimu Tiara, bila tiba saatnya nanti, ...
Kita
telah berusaha mencari takdir kita masing-masing, tuk
memberikan yang terbaik bagi diri,
Aku
ingin engkau menungguku disana,
menungguku hingga
batas waktu !
Jangan
pernah sekalipun risaukan diriku....ketersendirian bukanlah hal
asing bagiku!,
Disaat
waktu mengaharuskanku untuk pergi, maka aku akan
pergi,
Disaat
aku akan kembali, maka aku kan kembali !
Namun
simpanlah kisah ini,
Karena
dengannya aku ada,
Dengannya
aku memiliki nisan.
****
Hartono
Beny Hidayat
2001
- 2004
Home
|