Untaian
Cinta tanpa syarat
www.diansastro.20m.com
Hubungan
penyair dengan perempuan yang dikasihi ,bahkan sering pula
membuahkan perselisihan dan pertengkaran dengan keluarga kekasihnya.
Terluka akibat tertusuk panah beracun bisa dicari penawarnya,
namun bila luka itu menanggung
racun bernama aib hendak kemana obat dicari; sejak saat itu kedua
pecinta tak lagi leluasa untuk saling bersua,
banyak mata telah mengawasinya dan kini si gadis telah
terkurung rapat dalam sangkar emasnya .
Cinta
bukan lagi sesuatu yang dirahasiakan ,seorang penyair akan
menyatakan cintanya pada dunia. Dalam ketulusan jiwa ia rela terluka
ataupun berkalang tanah untuk membela kekasih hati. Orang-orang yang
tak sengaja mendengarkan senandung rintihan hati sang penyair akan
ikut menangis.bersama , seakan ikut menyelami palung kepedihan sang
penyair yang cintanya terpasung dalam samudera keputusasaan.
Disaat
kekuatan cinta telah memenjarakan hati,
dan jarak telah memisahkan keduanya , ditempat kesunyian jiwa
seperti itulah, akal
dan perasaan yang
berwujud bahasa hati; akan
berbicara dengan hati lainnya.
Malam
nan pekat boleh saja menyembunyikan pepohonan dan bunga ,
namun
kegelapan tidak akan menyembunyikan dirinya dari jiwaku
Tiara
boleh saja dikurung dalam sangkar emasnya,
Namun
ku kan selalu menemani mimpi-mimpi
dan keterjagaannya
ditiap
pergantian malam
Diruang
istana, Tiara- sang
putri raja masih saja merenung , ia terus-menerus memikirkan hikmah
dibalik semua perjumpaan serta mimpi-mimpinya, jemari kerinduan
telah menggadaikan hati dan jiwanya, raganya telah teracuni madu
cinta, sehingga wajahnya yang putih kini memucat pasi dan cahaya
matanya-pun perlahan meredup laksana
kegelisahan bulan dikala malam
serta laksana kesedihan
matahari diwaktu siang , sambil bersyair ia menuliskan suara hatinya
pada secarik kertas.
“Wahai
Pencuri hati, datanglah padaku ! ,
Tidakkah
kau dengar rintih kerinduanku dikala malam?
Sampai
kapan meski kutanggung derita ini,
Memanggul
beban dunia - saat letih memanggil, masih bisa kubesandar,
Namun
bila beban itu beban bathiniyah, meski kemana aku menyandar ?”
“Duhai
kekasih , merindumu membuatku kehilangan arah, pandanganku menjadi
kabur dan pendengaranku menjadi lemah.”….“Apabila
engkau menganggap cinta itu pembebas, katakanlah padaku,
dimanakah aku bisa dapatkan cinta seperti itu?”
“Kini
hatiku tertawan oleh
jaring-jaring cinta yang kau tebarkan kedalam hatiku, perlahan dan
pasti engkau menghujam hatiku dengan anak-anak panah yang sengaja
kau lepaskan padaku- dengan itu semua ; tanpa memberikan obat atas
luka-luka ku itu, kemudian engkau menghilangkan diri.”
“Bila
air sungai kelak bermuara kelautan, sedang jiwaku hendak kemana ia
berlabuh?
Oh,
betapa pahitnya derita yang kini kutanggung !, sudikah kiranya
engkau memikul beban derita ini
bersama ? “
Dan
bukanlah sebuah pasangan jiwa, jika sang pemuda tidak merasakan
penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh belahan hatinya, Ia
pun berprilaku sama seperti yang dilakukan sang terkasih.
Sering
pula ia menyusuri bebukitan memanggil-manggil nama kekasih hati,
atau memetik tumbuhan ataupun mengelus hewan-hewan liar dibelantara
kesunyian, sambil membicarakan perihal ratapan dan kesedihan hatinya
terhadap sang kekasih. Berbagai kegilaan tersebut seakan
mencerminkan -tidak adanya seorang manusiapun yang peduli terhadap
permasalahannya .
Dalam
pengasingannya itu , kehidupannya menjadi kacau, tak lagi ia
memperhatikan diri, tidak pula mengacuhkan berbagai cemoohan yang
terlontar kepadanya.. Tiada hari yang terlewati darinya selain
lamunan tentang kekasihnya, tidak pula ada waktu yang dihabiskan
selain menuliskan syair-syair yang
berisi ratapan maupun pujian .
Airmata
keputusasaan jatuh berderai dari pipinya seakan-akan hendak
berbicara dengan hati lainnya, laksana sebuah genangan air yang
menjadi kaca pemantul bagi kebahagian dan juga penderitaan hatinya..
“Duhai
cinta”, katanya
….”Dalam ketersendirianku yang mencekam, laksana langit
yang tak pernah mengenal bintang –gemintang,
aku terkurung sepi dalam kehampaan. Sejak dirimu hadir dalam
mimpi-mimpi malamku , jiwaku terguncang dengan hebatnya, seakan akal
sehat ku telah hilang akibat memikirkan dirimu.
Engkaulah keindahan yang telah membuatku selalu terjaga,
sentuhan jemari kerinduanmu yang berapi -telah membangkitkan dan
membuat jiwaku terbakar dalam tungku bara api keabadian“.
.“Duhai
Tiara!….Demi cintaku padamu aku rela dianggap gila, demi berjumpa
denganmu aku rela menyusuri bebukitan,
menerjang badai dan menahan petaka.” …”Tak pernah aku
merasa letih dalam harap, dan tak pernah aku merasa jemu menggubah
syair-syair keriduanku untukmu ”
“
Ketika jaring-jaring cinta menyulam ruang hati, menembus bilik
keberadaan,
membuncah
kesunyian, menghenyak
keheningan, menggetar lautan,
terjaga
Sang jiwa dalam
titian siang dan malam”
“
Disaat panah-panah cinta datang menyambut,
Aku
relakan hati ini berdarah, Ku relakan hati ini terluka,
Aku
binasa, Maka kematianku adalah suka-cita, Tangisku
adalah mata air dahaga.
Seakan
tidak pernah kehabisan akal, sang pecinta selalu saja mendapatkan
jalan untuk bisa bersua untuk sang kekasih pujaan hati,
meskipun didepannya menghadang berbagai aral serta rintangan , tabir
dan penjaga yang bersenjata, serta akal licik untuk memisahkan
mereka, pastilah akan menjadi sia-sia belaka. Laksana pasir atau
debu yang terbang berserak tertiup angin,
semua pembatas-pembatas tersebut menjadi luruh tak berdaya
seiring dengan bangkitnya rasa cinta
yang hangat dari dalam kalbu kedua pecinta
Bulan
begitu cantik dalam naungan bintang-bintang, langit tampak begitu
cerah; secerah hati kedua pecinta. Sebuah keindahan malam yang
mengilhami Satria untuk menemui Tiara. Sembari melantunkan syair
Satria berjalan menyusuri jalan kampung yang berliku menerabas
hutan dan mengarungi sungai. Apapun rintangan yang
menghadang, dengan sukarela ia taklukkan demi berjumpa dengan
kekasih hati.
Setelah
sampai didekat alun-alun istana, Satria memperlambat langkahnya
terlihat beberapa pengawal sedang berkeliling menjaga tiap sudut
bangunan istana. Sambil mengendap-endap, ia menyusup memasuki sebuah
taman- yang tepat berada didepan kamar sang Putri. Diatas balkon
istana Sang Putri terlihat menunggu dalam kegelisahan, tampak rambut
panjangnya terurai diterpai semilir angin dan terlihat pula sepasang
matanya yang indah berkaca-kaca dalam keharuan,…
“
Duhai betapa cantiknya ia” , bisik hati kecil Satria. Bulir
airmata keharuan tampak menitik dari kelopak mata Sang dewi , seakan
hendak berkata agar malam ini menjadi
malam yang abadi, sebuah malam pertemuan
yang tak berpisah untuk selamanya. Tak rela bila kekasihnya
menangis, kemudian Satria bersyair
untuk menenteramkan hati sang terkasih :
Duhai
bulan dan bintang masih adakah senyum dihatimu?
Adakah
gerangan nestapa dihatimu kini?…
“Duhai
cinta yang terbakar...Bakarlah gelora hati dalam jiwa hingga
berabu”...
“
Menangislah jika harus menangis ....Maka tangismu laksana lautan
tinta kasih, yang mengisi mata penanya dengan senandung
harapan- akan cinta dan anugerah “...
“Tiap
usapan tangismu , baginya laksana tarian hati, tarian pena- yang
bergerak dengan sendirinya pada secarik kertas keabadian “ ....
Setelah
mendengar kata-kata Satria, sambil memalingkan wajah cantiknya- Sang
Putri mengusap bulir-bulir airmatanya yang terjatuh, kemudian dengan
suara lirih dan penuh keharuan,
ia berkata :
“Kudapati
Cinta merupakan yang wujud sekaligus ghaib,
Cinta
adalah ramuan kesembuhan dan juga kematian” ...
“Bersama
ketulusan hati , ia mengangkat , mengeringkan dan menyembuhkannya ,
atau
bahkan melukainya kembali”...
Mendengar
Tiara mengucapkan rangkaian syair nan menyentuh itu- Satria
tersenyum, sambil memberi setangkai bunga mawar pada Tiara ,
kemudian Satria berkata :
“
Duhai Tiara !, Lihatlah batu ini dan lumut yang menutupinya, lebih
baik bagimu menjadi lumut yang tak memiliki langit tuk
berteduh , daripada menjadi
batu permata yang sejak dari kelahirannya didekap keperkasaan
gunung-gunung” .
“Apalah
arti keindahan wujud baginya ?, Dan
apalah arti kemilau cantik bagi dirinya- bila ia sendiri tak pernah
merasakan sentuhan sinar kasih ataupun belaian lembut angin
kehidupan “ . “Duhai
kekasih hati, jangan
pernah takut melangkah, buanglah keraguan diri ; karena dalam
wujud cinta, segala macam bentuk keraguan adalah dosa
kasihku “.
“
Lihatlah lumut ini dan belajarlah darinya, tidakkah
kau lihat bahwa batu dan lumut itu beda, tapi lihatlah ia dengan
setianya mendekap sang batu. “
Bagi dirinya mencinta adalah sebentuk pelayanan, mencinta
adalah sebuah kebutuhan, mencinta berarti menghidupkan cita dan
harapan” .
“
Demi orang yang dicintainya, ia rela terterpa panas dan hujan.
Ia menyakini bahwa
suatu waktu, sebongkah batu yang keras sekalipun- akan menjadi lunak
karena sihir cinta”. “Apapun
yang kau dengar tentang Cinta , apapun
yang ingin kau katakan tentang wujudnya, ketahuilah bahwa inti
Cinta itu sendiri adalah sebuah rahasia yang tak pernah
terungkapkan” .
****
Hartono
Beny Hidayat
2001
- 2004
Home
|