Bab
1 Surat-surat cinta tanpa huruf (Tentang dia )
www.diansastro.20m.com
Mutiara
langit begitu cerah, bulan tampak begitu utuh dalam balut gelisah
heningnya malam, bertabur kerlip sunyi bintang-gemintang, terlihat
dikejauhan sebuah bangunan tua yang besar lagi kokoh seperti sebuah
kastil, berpekarangan luas; dengan sisi-sisi dinding megahnya tampak
berlumut dan berlubang akibat termakan usia.
Walaupun
bangunan kokoh itu sepintas terlihat cantik dimata, namun tubuh
lusuhnya seakan kurang terkucuri basuhan air kehidupan, serta usapan
kasih jemari nan terampil. Itu terlihat dari beberapa daun jendela
dan dinding pemantul bayang keberadaannya, yang
terlihat kusam; bahkan pada balkon dinding bagian utara ;
sebuah sarang hewan penenun dan beberapa ekor hantu berjubah, sedang
bergelantungan di sudut
atapnya.
Bangunan
tua itu bertingkat dua, dipintu masuknya mengapit dua buah patung
berbentuk malaikat kecil yang terlihat begitu indah manakala teterpa
cahaya bulan. Keindahan mata dan kepak sayap kecilnya, seakan hendak
menyapa ramah setiap tamu yang hendak bertandang.
Bila
mata memasuki ruang keberadaan itu, tampak langit-langit bangunannya
tegak menjulang bak tombak Julius Cesar dengan dinding-dindingnya
yang berhias puluhan tongkat pendar cahaya api kristal.
Pada
lantai bawah, pojok bagian kiri dari bangunan ini- terdapat ruang
perpustakaan, sedang pada bagian tengahnya terdapat ruang perjamuan
serta ruangan utama yang dimana sisi bahunya terdapat
lukisan-lukisan kuno yang terggantung miring dan agak menghitam.
Disepanjang anak panah tangganya, terhampar gulungan permadani merah
hati nan indah, berhias mata perunggu dan guci ukir dari cina .
Sarang
peraduan tersebut begitu temaram, namun terasa hening dalam hembusan
damai. Ukiran jiwa dibeberapa tepian dahan cokelatnya, walau
terkelupas rentang waktu namun tetap indah dalam keantikannya.
Bila kita melengok kedalam kamar tersebut ; didapatlah sebuah kotak
kayu yang memuat puluhan buku-buku -yang tersusun dengan rapihnya
bagai susunan rusuk adam, sedang pada lantainya dipenuhi oleh
sobekan serta lembaran kertas, yang berisi ungkapan hati sang
penyair.
Ada
beberapa ruangan disana; dimana salah satu kamar itu dihuni oleh
seorang pemuda yang selalu termenung dan tenggelam dalam gejolak
arus samudera pemikirannya.
Bertemankan
redup cahaya lilin yang bertempur dengan pekatnya malam –pada
sebidang meja; dengan tumpukkan buku ditiap sisinya, terlihat
sesosok pemuda sedang merenung dan menuangkan isi hatinya pada
secarik kertas …
“Hari
kemarin- hingga saat ini aku menulis, aku tak tahu harus kuisi dan
hendak kemana surat jiwa ini kukirim. Bukankah bahasa hati tidak
memerlukan rangkaian huruf, bukankah lembaran jiwa ini dapat
terbaca- walau sekiranya tak ada tulisan diatasnya ?”
“Bagiku
Cinta laksana buah hati yang abstrak, Pohon jiwa yang tak henti
berbuah, hadirnya laksana Cahaya abadi yang mengikis kegelapan
malam. Mengubah dasar-dasar pemikiran ,menanggalkan kesedihan
, basahi keringnya dahaga jiwa , menggantinya dengan mata air
surga”
“Maukah
kau katakan pada Sang jiwa, apa yang telah dilihat oleh mata saat
itu ?” “Dilihatnya bidadari memainkan kecapi, denting-denting
cinta mengalun merdu dari lentiknya, senandungkan bait-bait kidung
semesta dari balik bibir merahnya”.
“Deru
nafas kelembutan dari hidungnya bak hembusan abadi yang memancar
dari inti jiwa, kekuatan yang membakar diri , melebur dalam dekapan
pusara nan abadi, basahi akar gersang Jiwa-jiwa
pencinta, hingga kesejatian diri tercermin didasar
hati”
“Cinta
datang bersenandung dalam tangisan suka- cita , Ia datang untuk
mensucikan jiwa, Ia
datang atas nama- kasih semesta “,
“Manusia
terjaga untuk menyambut atau memalingkan panggilan sucinya, Selalu
terjaga Ia dalam pembaringannya yang getir , tertawa
dan menangis ia dalam keheningan malam yang bisu”...
“Begitulah
cinta yang pertama kali ku rasakan, ku dibuat buta olehnya,
kudibuat hidup dan terbakar
oleh panas teriknya ,dialah racun yang melumpuhkan dan aku tersihir
oleh keajaibannya !”
Dalam
hati seorang Pecinta, suara hati dan pesona jiwanya berawal dan
berangkat dari kepedihan hatinya, dan dari kepedihannya itu; ia
membalutnya dengan cinta, maka tersingkaplah selubung kegetiran jiwa
lalu menggantinya dengan percikan airmata bahagia.
Dalam
kesendirianku itu kudapati Cinta berbicara dengan hati lainnya
dengan bahasa yang berbeda, begitu besar makna keagungan cinta
seakan tak ada ungkapan yang pasti didalam melukis hakikatnya.
Saat
cinta hadir didalam sanubari, ia akan berputar laksana sebuah roda,
cintalah yang menghadirkan setangkup bahagia dan juga deraian
airmata. Ia akan terus berputar
mengelilingi ruang-ruang hati
seakan tak memiliki awal maupun akhir didalam sebuah
perjalannya.
Cinta
sejati adalah cinta yang membakar keegoan diri, laksana sebuah cawan
perak yang patuh walau tertempa sebuah besi panas, pesona
keindahannya-pun mampu melumerkan segala macam bentuk rantai besi
yang membelenggu diri .
Hati
sang pencinta akan terus berbicara dengan hati pecinta lainnya,
sekalipun mata lahiriah tertutup, namun jiwa menyakini bahwasanya
tak akan ada yang sanggup menutup mata hati, kecuali keagungan cinta
itu sendiri.
Bumi
sang terkasih , tempat dimana permadani kesejatian
menghampar- telah mengucap janji setia pada Sang penyair:
Wahai
penyair !,
Kurelakan
jiwa ini , menahan pedihnya goresan tinta yang kau toreh diwajahku,
Kubiarkan
pula api, membakari
seluruh ruang jiwaku,
karena
Sang terkasihlah aku
memiliki kekuatan, dan
karena ia- pulalah aku ada.
Melihat
bumi kekasih tercintanya menangis, tampak bulir airmata- menetes
dari pipi sang penyair, maka
keluarlah syair pengharapan
dari bibirnya yang kering :
“Duhai
bumi kekasihku !,
ada
ataupun tak ada, dirimu disisi -bagiku adalah sama!
Disaat
dirimu hadir, denting kecapi mengalun dihatiku.
Engkau
laksana cahaya bintang yang menghiasi malam sepiku,
Takkala
senyummu hadir, Sejuk terasa dihati, walau kegetiran
terasa dalam misteri...
Dibalik
awan yang mendung-
kulihat matamu yang indah, memancar penuh kedamaian,
dikedalaman jiwaku.
Ketika
rintik hujan membasahi bumi, rintiknya
basahi bunga-bungaku yang bersemi didasar hati.”
***
Begitu
banyak malam yang telah dilewati dan telah banyak pula racun
kegelisahan telah direguknya, namun Sang pemuda sama sekali tak
mengetahui hakikat dibalik kejadian itu semua, namun yang kini ia
rasakan bahwa tanggannya telah terbelenggu , matanya telah buta dan
bibirnya terkunci. Ia telah hanyut dalam palung samudera
perenungannya, darahnyapun telah tercemar oleh racun dan juga madu
pemikirannya sendiri.
Sejak
saat itu ia lebih menyukai ketersendirian, dimanapun ada riuh
keramaian, jiwanya
tetap saja merasa sunyi. Baginya bergantinya siang kemalam ataupun
sebaliknya adalah sama.
“
Ketika aku mendayung bahtera jiwaku menuju kepulau ketidaktahuan ,
aku kembali berlabuh kedermaga jiwa dengan membawa setangkup pasir
kekecewaan dan tanpa sedikitpun memahami penyebab kekecewaanku itu.
‘Kudapati
bahteraku mengapung sekaligus yang tenggelam, ketika dayungku
mengayun kokoh memecah ombak bagai
karang yang membelah lautan , bahteraku berlayar laksana jasad busuk
yang mengapung diatas air’.
‘Disaat
ku menjaring ikan-ikan tersebut, ketidakberdayaannya
ketidakberdayaanku juga, kurasakan keperkasaan jaring dan ketajaman
mata kail yang kupergunakan, telah membelenggu dan mengoyak-ngoyak
bathinku sendiri ”
“
Dalam perjalanan tanpa akhir, ketika segala resah merasuki dan
menyelimuti diriku, aku
hanya bisa menahan nafas , jiwaku merintih dan terkapar, menggigil
dalam kebisuan malam. Aku hanya terdiam, aku mengharap kehadirannya
merupakan suatu perjalanan “terakhir” yang singgah didermaga
hatiku.
“Aku
melihat ‘bahtera tua’ itu telah letih, seolah semua samudera ia
telah dilintasi, seolah segala rute perjalanannya berlalu tanpa
irama,
melintas dan hanya melintas, tanpa ada nahkoda ataupun ataupun derai
tawa bocah yang mengiringi perjalanannya”.
“Entah
kenapa bahtera itu kini hanya ingin dilihat,
ia mengharap suatu saat kelak- masuk museum,
Walaupun sekiranya terkurung dalam ruang yang terbatas namun
ia memiliki teman, bersama bahtera lainnya yang lebih dulu ada-
mereka saling berbagi tempat dan cerita. “
Ketika
aku sedang berada disebuah dermaga, aku bercerita dengan bahtera
lainnya,
“Aku
lelah mengangkut segala tentang ‘ada’ ataupun ‘tak ada’ dari
seorang manusia”.
“Aku
mengharap didepanku merupakan sebuah pelabuhan terakhir tempat
dimana ku dapat beristirahat dan singgah dalam waktu lama”.
“Dalam
dekapan ketersendirianku itu , Cinta hadir laksana tarikan dan
hembusan nafas- kidung semesta. Bagiku
Cinta adalah sebuah pengorbanan , tapi bukan untuk dikorbankan.”
“Dahaganya
adalah dahaga cinta, airmatanya -mata air cinta , walaupun cinta itu
harus tertatih ataupun berkalang tanah
serta binasa, maka
cinta sejatilah yang bertahta”.
“Cinta
adalah ramuan kesembuhan, Cinta adalah senandung hidup, disaat
benih-benih cinta tumbuh subur diladang-ladang kasih Ilahi,
ditanganNya- lah kehidupan dan kematiannya”
“Ada
sebuah ungkapan menyatakan “Cinta datang dari mata turun
kehati“, namun diri menyakini bahwa pandangan bukanlah
satu-satunya jalan yang dapat menghadirkan indahnya getaran dawai
kecapi cinta - yang bersenandung dalam bilik hati.”
“Bagiku
Cintalah satu-satunya -cahaya pemilik jiwa, Sang Jiwa Pencinta
akan terus hidup dalam keabadian, Pemilik
abadi dari berbagai ramuan dan mantra ajaib, yang
dapat menyembuhkan segala duka lara”.
“Begitulah
saat itu, aku sedang mabuk anggur masa muda !…..didalam
kebingungan jiwa aku ciptakan kekasih khayalan bagi pasangan jiwaku
, aku bercakap-cakap dengannya dikeremangan malam, dan aku hendak
mengawali kisah ini dengan sebuah syair :
Wahai
Cinta,
Engkaulah
sumber inspirasi , yang
membuat jiwa bak seorang pelukis,
Seorang
pelukis yang tak
memiliki gambaran tentang
konsep akhir dari sebuah lukisannya,
Ataupun
penjabaran universal dari lukisan yang ia buat,
Namun
sang pelukis memahaminya,
sebagai
karya lukis yang mengandung nilai ekstetik,
kehalusan
sapuan kuas serta kombinasi ragam warnanya ,
menciptakan
sebuah keutuhan harmoni .
Dengan
berbingkai akal serta sinergi kanvas kemanusiaan .
Sebuah
ide kecil tercuat,
perihal
“kanvas” dan sesuatu yang berada diatasnya,
Inilah
peradaban besar yang dicitakannya,
Inilah
mimpi-mimpinya !
***
“
Ketika aku mengagumi cinta , aku hanya dapat memujinya, tidak pernah
hati ini berhasrat ataupun bermimpi untuk memilikinya , karena aku
tetaplah jiwa yang kerdil.
‘Telah
bahagia kurasakan dari kegelapanku yang getir, bila jiwaku mampu
mengukir dan menghampiri keindahan , yang hakikatnya
keindahan-keindahan tersebut tidaklah pernah kumiliki’...
‘Aku
hanya sekedar memastikan pada jiwaku, bahwa keindahan-keindahan itu
tetap ada- tetap hidup serta bersemayam dalam kesunyian jiwaku,
sekiranya jiwa itu harus merangkak dalam selubung kabut kegetiran
ataupun berada dalam kematian panjangnya’.
‘Duhai
kekasih…dari kegelapanku yang tak bertepi dan berdasar ini
kasihani dan maafkanlah jiwaku, maka ijinkanlah aku memasuki
kelapangan dan kebijaksanaanmu, ijinkanlah aku meneguk
air- dari sumur jiwamu,
engkaulah terkasih!… pemilik satu-satunya tetes
air- bagi dahaga jiwa’
‘Disaat
dinding jiwa ini tak memiliki kekuatan atau cahaya yang
menyelimutinya , hidupku seakan-akan berada dalam kotak yang sempit,
tak pernah lagi kurasakan indahnya kesegaran pagi ataupun heningnya
keindahan malam’ ...
‘Bagiku
bergantinya hari dari terang- menuju kegelapan adalah sama , karena
hatiku telah terkunci , mataku telah buta, bibirku membisu dan
ragakupun telah lumpuh oleh belenggu-belenggu yang memeluk-ku
erat’....
‘Dalam
sebuah rumah pengharapan -pelita bagi pembaringanku yang getir
,jiwaku terkapar sekarat, dengan sisa nafas kehidupan- kugerakkan
tanganku yang lemah kearah langit, seakan-akan ada sebuah cawan air
harapan serta sepasang sayap cinta yang mengangkat dan
menyelamatkanku dari kegelapan ini’....
Inspirasi
ku
Dikeheningan
malam
disaat
ku terjaga dari tidurku ,
Dirimu
hadir diantara bintang-bintang
yang ingin kutemui
Kunyalakan
lilin, di istana gelap hatiku
Lilin
api yang berpendar cahaya kasih,
Ibunda
cahaya dari segala cahaya – yang menceritakan segala tentangmu dan
tentangku.
Kuambil
secarik kertas
Kutulis,
lalu kucurahkan
semua yang ada dihati.
Engkaulah
yang menuntun penaku agar berbicara
dengan bahasa hati
Duhai
kekasih,
Kucipta
puisi terindah untukmu,
Walau
dirimu belum hadir sepenuhnya , namun kuyakin -hatiku dapat
merasakannya ,
Getaran
ghaib itu, dapatkah hati merasakannya ?!
Puisi,
petikan gitar dan syair lagu..semuanya, yah semuanya yang
ku-punya...
Aku
mendedikasikannya untukmu ,
Karena
Kaulah semua ini tercipta.
‘Dari
ketersendirianku yang mencekam, dari malam-malam yang melintas tanpa
bintang aku menggubah kembali sebuah syair kerinduanku untukmu :
Cinta
yang terlahir bersama rahasia malam,
Menghadirkan
ketulusan dan keabadian cinta yang dalam,
Laksana
dalamnya samudera,
setinggi
bintang dan seluas angkasa,
Cinta
yang kubawa adalah cinta yang kuperas dari serat jantung dan
tinta airmata ,
Menghidupi
hati nan kering lalu menjelma menjadi sebuah mata air
-penghapus kerinduan.
Keindahan
yang dapat membuat seorang bahagia walau ia berada dalam selubung
ketiadaan;
Membuat
jiwa merasa teduh dalam damai,
sekiranya badai dalam jiwa sedang berkecamuk.
Jemari
kelembutan angin malam telah menyapa mata sang pemuda , kepenatan
telah memanggilnya untuk beristirahat, diatas kertas-kertas
keabadian itulah, ia menyandarkan kepalanya; dibahu meja
kebersahajaannya- ia merebahkan tubuh…
***
Begitulah
sekilas kegiatan keseharian sang pencinta, seorang penyair lokal
yang termasyur dari suku Andasia , ibundanya bernama Sekar dan
ayahandanya bernama Syahbana, seorang pedagang yang berasal dari
timur, ia banyak menghabiskan waktunya dengan berdagang, sehingga
keluarga lebih banyak ditinggalkannya - hingga hitungan bulan bahkan
tahun.
Pemuda
itu bernama Satria dilahirkan pada masa Raja Nalendra. Ia berkembang
tidak sebagaimana lazimnya anak-anak yang
lain .Kehidupan masa kecilnya begitu unik. Disaat
anak-anak sebayanya senang bermain-main dengan bonekanya ,
maka ia lebih senang mengamati hewan dan tumbuhan yang ada ditaman.
Sang ibu kerap dibuat bingung oleh ulahnya. Maka perempuan itu
mendatangi tetua suku, agar anaknya dilindungi oleh ajimat yang
dapat menjaganya dari berbagai bala.
Setelah
berumur sembilan tahun Satria ditinggal pergi ibunya untuk
selama-lamanya, dan ia diasuh oleh kenalan ayahnya. Dalam
ketersendirian dan keterasingan tersebut ia hanya mencintai dua hal
: yaitu menulis syair dan memadu kasih dengan kekasih khayalnya, tak
pelak lagi bila tak ada waktu dan hari melintas dalam benaknya
selain menuliskan bait-bait syair, yang kesemua gubahannya itu
dinisbatkan kepada “Seseorang” yang selalu hadir dalam tiap
perenungannya diwaktu siang serta membuatnya selalu terjaga dikala
malam.
Kepada
siapakah gerangan syair-syair itu ditujukan?!…Duhai betapa
beruntungnya gadis yang menjadi sumber inspirasinya itu,….namun
tiada seorangpun yang mengetahuinya, begitu juga dengan ayahandanya,
begitu pula para kerabat dekatnya.
Mereka
para handai taulan- hanya sekedar mengapresiasikannya saja, dan
memaklumi berbagai ulah gilanya, sebagai bentuk perilaku seseorang
yang sedang melewati masa akil baliq.
Bahkan
tidak sedikit diantara tetangga ; ataupun para kerabat yang telah
menuduhnya sebagai seorang yang telah lupa ingatan akibat sihir
cinta.
Maka
dari itu -ia pun bersyair,
kepada mereka-mereka yang telah menganggap dirinya telah lupa
ingatan, seolah duduk pekara kesemuanya itu , bersumber dari
penderitaan cintanya yang tak berbalas
:
Bahwa
hati mempunyai bahasa yang lain ,
jiwa
yang tak paham akan menganggapnya gila,
jiwa
yang memiliki batas pengelihatan akan sia-sia.
Dilihatnya
mata air, adakah jiwa dapat melihat nestapa air - ketika menembus
kegelapan?! …
Dan
bukanlah kehidupan seorang penyair bila ia tidak berdiri didua sisi
ketajaman mata pedang. Karena demikian besar pengaruh kewibawaan
ayahandanya sajalah, yang membuat dirinya terpelihara dari fitnah
serta gunjingan masyarakat
sekitarnya.
Dalam
jalan kehidupan , bukan duri saja yang melintang diatas
permukaannya, melainkan adapula bunga-bunga yang tumbuh subur diatas
tanahnya, dan tidak sedikit pula yang memuji ,menghapal serta
menulis berbagai riwayat- ratusan atau bahkan ribuan syair-syairnya
, sebagai suatu bentuk cinta dan penghormatan baginya .
Kepada
mereka-mereka yang memujinya secara berlebihan ia bersyair :
Lebih
baik kalian melempariku duri ,
daripada
kata-kata madu - yang kelak menikam
laksana pedang yang tajam
Dan
aku bukanlah bintang yang menerangi gelap malam
bukan pula daun kering yang
berserak tertiup angin .
Aku
adalah seorang pengembara yang sedang menyusuri dan mencari pelangi
dibalik kabut hitam. Yang hendak kujumpai diujung harap
adalah lentera jiwa, Obor kehidupan yang menerangi ditiap langkah
‘Aku
berlayar dan aku pergi , mengarungi dan melintasi luasnya samudera
kehidupan- bersama angin kehidupan aku berkelana ,
tetapi
bukan berarti kepergianku tanpa arah tujuan’ .
Hartono
Beny Hidayat
2001
- 2004
Home
|